[postlink]
http://wongmatoh.blogspot.com/2013/09/kutipan-buku-kisah-lainya-suatu-hari-di-bulan-mei-partII.html[/postlink]
Menjadi Tahanan Bareskrim
"Lalu kau injakkan kakimu untuk pertama kalinya di situ. Kau mencoba untuk tenang, namun jantungmu berdetak keras. Kau mencoba untuk normal, namun semua melihat wajahmu pucat. Mencoba diri tapi tanganmu bergetar. Pukul 2 pagi ini, setelah hari yang menegangkan dan menguras semuanya, membuat badan dan pikiran berjalan tidak searah. Pikiranmu tidak lagi menguasai badanmu, dan badanmu enggan mengenali pikiranmu."
Setibanya di Bareskrim Mabes Polri, setelah menjalani sedikit pemeriksaan dan menandatangani beberapa berkas, berjalanlah saya menuju pintu masuk tahanan. Ssaya di antas seorang penyidik. Di titik ini, teman terdekat saya melepaskan pelukanya.
Saya melewati batas itu sambil menenteng tas berisi pakaian secukupnya. Tanpa melihat ke belakang, saya berjalan melewati puluhan orang yang memang sudah berada di sana. Beberapa dari mereka mulai berdiri, seakan menyambut kedatangan saya. Lalu terdengar ada yang menyanyikan sedikit lagu "Ada Apa Denganmu", diikuti tawa. Saya tersenyum kearah mereka, dan mereka pun tersenyum hangat. Sebuah momen pertama yang menyenangkan.
Saya pun melewati ruangan tadi, yang kemudian saya tahu disebut "Kampung Tengah", menuju sel saya di "Kampung Atas". Kampung Tengah dan Kampung Atas adalah istilah untuk blok-blok sel di Bareskrim Mabes Polri. Seorang tahanan berbadan besar, mengenakan kaos singlet dan celana pendek, menghampiri saya dengan tenang. "Biar tasnya saya yang bawa," katanya seraya meraih tas saya.
Ketika akhirnya saya sampai di Kampung Atas, waktu sudah dini hari. Penghuni lain sedang beristiraha. Malah sebagian besar sedang lelap-lelapan tertidur. Penyidik mengantarkan saya ke depan sebuah pintu. Dari dalam terdengar suara lantang, "Siapa itu diantar-antar!?" dengan sedikit kata-kata kasar. Anehnya, kata-kata itu seperti ditujukan kepada sang penyidik.
Si pemilik suara lantang itu kemudian mengundang saya ke dalam kamarnya sepeninggal sang penyidik. Kegalakan yang dia perlihatkan sebelumnya mendadak berhenti begitu saya ada di dalam kamarnya. "Ariel, Ariel, ngapain ada di sini?" katanya sembari tertawa.
Pria ini, yang ternyata juga menjadi "Pak RT" di Rutan Bareskrim, masuk bui karena terkait dengan pembunuhan seorang direktur sebuah perusahaan besar, yang juga melibatkan seorang pejabat pemerintah. Istilah Pak RT diberikan untuk tahanan yang mendapat tanggung jawab sebagai perwakilan tahanan.
Oleh Pak RT saya diajak ngobrol, ditawari rokok serta telur dan madu. Kepada saya ia banyak bercerita tentang kondisi rutan. "Jangan kaget kalau nanti ada yang teriak-teriak," katanya. Apa yang dia ingatkan itu terjadi beberapa hari kemudian. Pagi-pgi, sekitar subuh, satu orang tahanan sudah bangun lalu berteriak sangat keras hingga membangunkan saya. "Makin Jelas!!" begitu teriakan orang itu.
Sebenarnya saya merasa cukup tenang selama berbincang-bincang dengan Pak RT di kamarnay. Namun karena dia khawatir saya sudah lelah dan harus menjalani pemeriksaan di pagi hari, percakapan itu dihentikan. Ia pun mempersilakan saya menuju ke sel saya, diantar oleh lelaki besar tadi, yang masih memegang tas saya.
Tiba di sel berukuran 4 x 4 meter persegi itu bukanlah awal dari ketenangan saya. Laki-laki besar tadi adalah teman satu sel saya. Sebelum saya masuk, ia menyiapkan tempat tidurnya.
Pria itu mantan pelaut. Bobot badanya tiga kali lipat badan saya, Ia berbicara dengan berbagai macam dialek, yang akhirnya bermuara pada dialek Jawa. Ada sedikit kekhawatiran di kepala saya sebelum memejamkan mata pada subuh itu. Khawatir bila terjadi sesuatu selama saya tidur. Namun rasa penat yang luar biasa mengalahkan rasa takut saya.
Meski sebentar, saya akhirnya bisa memejamkan mata. Tidur pukul 06.00, tiga jam kemudian, pukul 09.00, sudah dibangunkan penyidik untuk diperiksa. Namun inilah tidur terlama yang pernah saya alami sejak kasus saya muncul.
Pagi pertama di Rutan Bareskrim, saya tak sempat mandi, hanya mencuci muka, karena sudah ditunggu oleh petugas penyidik. Tangan saya gemetar ketika membasuh wajah. Air yang dingin membawa suasana tersendiri. Dingin itu membangkitkan kesedihan.
Tekanan lebih besar lagi saya alami karena saya tidak bisa berhubungan dengan dunia luar. Saya adalah manusia era ini, yang sangat dimanjakan oleh peranti telekomunikasi. Selama berada di Rutan Bareskrim, semua alat komunikasi ditahan penyidik. Ini membuat saya semakin merasa sendirian pagi itu. Satu-satunya cara saya untuk mendapatkan informasi adalah melalui teman-teman yang menjenguk. Mereka juga menjadi energi tersendiri bagi saya untuk menjalani semua proses yang berlangsung.
Kutipan "Kisah Lainya" Sebelumnya
Setibanya di Bareskrim Mabes Polri, setelah menjalani sedikit pemeriksaan dan menandatangani beberapa berkas, berjalanlah saya menuju pintu masuk tahanan. Ssaya di antas seorang penyidik. Di titik ini, teman terdekat saya melepaskan pelukanya.
Saya melewati batas itu sambil menenteng tas berisi pakaian secukupnya. Tanpa melihat ke belakang, saya berjalan melewati puluhan orang yang memang sudah berada di sana. Beberapa dari mereka mulai berdiri, seakan menyambut kedatangan saya. Lalu terdengar ada yang menyanyikan sedikit lagu "Ada Apa Denganmu", diikuti tawa. Saya tersenyum kearah mereka, dan mereka pun tersenyum hangat. Sebuah momen pertama yang menyenangkan.
Saya pun melewati ruangan tadi, yang kemudian saya tahu disebut "Kampung Tengah", menuju sel saya di "Kampung Atas". Kampung Tengah dan Kampung Atas adalah istilah untuk blok-blok sel di Bareskrim Mabes Polri. Seorang tahanan berbadan besar, mengenakan kaos singlet dan celana pendek, menghampiri saya dengan tenang. "Biar tasnya saya yang bawa," katanya seraya meraih tas saya.
Ketika akhirnya saya sampai di Kampung Atas, waktu sudah dini hari. Penghuni lain sedang beristiraha. Malah sebagian besar sedang lelap-lelapan tertidur. Penyidik mengantarkan saya ke depan sebuah pintu. Dari dalam terdengar suara lantang, "Siapa itu diantar-antar!?" dengan sedikit kata-kata kasar. Anehnya, kata-kata itu seperti ditujukan kepada sang penyidik.
Si pemilik suara lantang itu kemudian mengundang saya ke dalam kamarnya sepeninggal sang penyidik. Kegalakan yang dia perlihatkan sebelumnya mendadak berhenti begitu saya ada di dalam kamarnya. "Ariel, Ariel, ngapain ada di sini?" katanya sembari tertawa.
Pria ini, yang ternyata juga menjadi "Pak RT" di Rutan Bareskrim, masuk bui karena terkait dengan pembunuhan seorang direktur sebuah perusahaan besar, yang juga melibatkan seorang pejabat pemerintah. Istilah Pak RT diberikan untuk tahanan yang mendapat tanggung jawab sebagai perwakilan tahanan.
Oleh Pak RT saya diajak ngobrol, ditawari rokok serta telur dan madu. Kepada saya ia banyak bercerita tentang kondisi rutan. "Jangan kaget kalau nanti ada yang teriak-teriak," katanya. Apa yang dia ingatkan itu terjadi beberapa hari kemudian. Pagi-pgi, sekitar subuh, satu orang tahanan sudah bangun lalu berteriak sangat keras hingga membangunkan saya. "Makin Jelas!!" begitu teriakan orang itu.
Sebenarnya saya merasa cukup tenang selama berbincang-bincang dengan Pak RT di kamarnay. Namun karena dia khawatir saya sudah lelah dan harus menjalani pemeriksaan di pagi hari, percakapan itu dihentikan. Ia pun mempersilakan saya menuju ke sel saya, diantar oleh lelaki besar tadi, yang masih memegang tas saya.
Tiba di sel berukuran 4 x 4 meter persegi itu bukanlah awal dari ketenangan saya. Laki-laki besar tadi adalah teman satu sel saya. Sebelum saya masuk, ia menyiapkan tempat tidurnya.
Pria itu mantan pelaut. Bobot badanya tiga kali lipat badan saya, Ia berbicara dengan berbagai macam dialek, yang akhirnya bermuara pada dialek Jawa. Ada sedikit kekhawatiran di kepala saya sebelum memejamkan mata pada subuh itu. Khawatir bila terjadi sesuatu selama saya tidur. Namun rasa penat yang luar biasa mengalahkan rasa takut saya.
Meski sebentar, saya akhirnya bisa memejamkan mata. Tidur pukul 06.00, tiga jam kemudian, pukul 09.00, sudah dibangunkan penyidik untuk diperiksa. Namun inilah tidur terlama yang pernah saya alami sejak kasus saya muncul.
Pagi pertama di Rutan Bareskrim, saya tak sempat mandi, hanya mencuci muka, karena sudah ditunggu oleh petugas penyidik. Tangan saya gemetar ketika membasuh wajah. Air yang dingin membawa suasana tersendiri. Dingin itu membangkitkan kesedihan.
Tekanan lebih besar lagi saya alami karena saya tidak bisa berhubungan dengan dunia luar. Saya adalah manusia era ini, yang sangat dimanjakan oleh peranti telekomunikasi. Selama berada di Rutan Bareskrim, semua alat komunikasi ditahan penyidik. Ini membuat saya semakin merasa sendirian pagi itu. Satu-satunya cara saya untuk mendapatkan informasi adalah melalui teman-teman yang menjenguk. Mereka juga menjadi energi tersendiri bagi saya untuk menjalani semua proses yang berlangsung.
Kutipan "Kisah Lainya" Sebelumnya
Bersambung...
Post a Comment