[postlink]
http://wongmatoh.blogspot.com/2013/09/cerpen-sejarah-aib.html[/postlink]
Setiap orang
memiliki sejarah aib sendiri-sendiri. Mohamad Isa Daud, pengarang sepuh tak
mati-mati yang selalu gagal menulis novel aib bagi orang suci, juga merasa
memiliki sejarah aib, terutama yang berkait dengan riwayat penggunaan nama
pengarang dalam setiap novel-novelnya. Dia merasa nama yang diberikan orang tua
terlalu berlebihan dan hanya mengingatkan siapapun pada pengarang buku-buku
tentang jin dan dajal.
Dulu
dia sangat ingin menghilangkan nama Mohamad karena merasa tak pantas menyandang
nama nabi yang paling dicintai oleh Allah itu. "Apa lagi aku tidak digdaya
sejak dilahirkan. Apa lagi aku tidak pernah menerima wahyu?'
Pernah
juga dia berhasrat menanggalkan nama Isa karena yakin benar tak bisa mengasihi
sesama. "Apalagi aku tak bisa mengasihi musuhku dan kerap meledek siapapun
yang tak sepaham denganku."
Sejak
awal dia malah ingin tak berurusan dengan nama Daud karena tak pernah bisa
mengalahkan orang-orang yang lebih hebat, tak pernah berani berurusan dengan
orang-orang sekuat Goliat "Kalau
boleh mengubah nama, aku ingin menggunakan nama Musa saja. Nama yang keren.
Siapa tahu tulisanku bisa membelah laut. Penaku nanti akan menjelma ular dan
menakut-nakuti para bandit..."
Karena
itulah kini dia sangat tidak ingin mencantumkan nama Mohamad Isa Daud di segala
karya yang hendak ditulis. Kalaupun aku
terkenal, toh tak akan melebihi nama pengarang Dialog dengan Jin Muslim. Jadi sebaiknya tak boleh aku bersandar pada
nama. Karya bagus lebih penting ketimbang nama besar.
"Aku memang pernah
keliling empat benua dan mengenal karakter tokoh-tokoh yang kutulis. Akan
tetapi aku tak pernah puas pada cerita-cerita yang mengambang itu," kata
Mohamad Isa Daud kepada Mirna, editor dari penerbit yang selama ini menerbitkan
kisah-kisahnya.
"Tetapi
tulisan-tulisanmu tentang manusia-manusia Paris, Berlin, Los Angeles, Sydney,
Kuala Lumpur, Madinah, dan Makkah menggetarkan para pembaca."
"Siapa
bilang? Aku sendiri merasa jauh dari tokoh-tokohku."
"Jadi,
apa yang kau inginkan saat ini?"
"Aku
ingin menulis kisah-kiah orang biasa di kawasan yang biasa-biasa saja. Dan aku
telah menemukan tempat itu."
"Dimana?"
"Di
sebuah tanjung penuh bakau dan bangau di dekat Kota Wali."
"Kau
akan menulis tentang bangau-bangau?"
"Mungkin
saja. Adakah yang salah?"
"Tentu
saja tidak salah. Kalau Borges boleh memarodikan atau membuat sejarah aib
kisah-kisah karya orang lain, mengapa kau tidak boleh menulis sejarah
menyimpang dari hal-hal yang diciptakan oleh Yang Selalu Lain?"
"Yang
Selalu Lain?"
"Ya,
bukankah Gusti Allah merupakan sosok Yang Selalu Lain?"
"Tunggu dulu! Jika novelku nanti jadi, bolehkah aku
menanggalkan namaku dari kisah serampangan itu?"
"Mengapa?"
"Karena aku ingin meninggalkan sejarah aibku,
meninggalkan nama burukku,"
Oleh: Triyanto Triwikromo
Post a Comment