[postlink]
http://wongmatoh.blogspot.com/2013/09/kutipan-bukau-kisah-lainya-satu-hari-di.html[/postlink]
PADA SATU malam di sekitar Mei 2010, saya tengah berada dalam sebuah rapat untuk membicarakan rencana peluncuran album terbaru Peterpan. Hadir dalam rapat itu, antara lain, Mas Gumilang Ramadhan, salah satu direktur di Musica Studio's, Bang Budi Soeratman, Manajer Peterpan, dan Reza drummer Peterpan. Personel lain tidak bisa ikut ambil bagian karena memiliki kesibukan lain yang tidak bisa ditinggalkan.
Rapat sedikit terganggu oleh bisikan Kindi, asisten pribadi saya. Wajahnya tampak serius saat membisikkan kabar ke telinga saya. Kabar yang mencuri sedikit konsentrasi saya. Saya menoleh ke arah Kindi, dan spontan berkata, "Ah, itu pasti hoax!" Kindi terdiam sebentar lalu meninggalkan saya.
Saya pun melanjutkan rapat dan argumentasi yang sempat terputus. Namun, setelah 20 menit, Kindi kembali menghampiri saya. Kali ini wajahnya lebih serius daripada sebelumnya. Tidak ada kata yang dia ucapkan kali ini. Dia hanya menyodorkan handphone-nya ke tangan saya, dan lewat mimik wajahnya mempersilahkan saya untuk melihat layar handphone itu. Seketika suasana di kepala saya berubah.
Saya menjauh dari kebisingan tempat rapat. Tempat itu ramai, tapi saya merasa sunyi.
Untuk beberapa saat saya merasakan nafas saya tertahan. Lalu saya merasakan kepala saya seperti hendak meledak. Saya menarik nafas panjang dan membuangnya keras-keras hingga semua yang ikut rapat melihat ke arah saya.
Saya yakin, melihat wajah saya, peserta rapat langsung dapat menerka ada masalah sanngat serius yang tengah saya hadapi. Saya sendiri juga melihat masalah besar di hadapan saya sejak malam itu.
Dalam hitungan hari, masalah yang saya hadapi itu menjadi percakapan semua orang, menjadi headline di media cetak dan elektronik, dibeitakan hampir tiap jam oleh media online.
Pikiran saya makin kacau. Saya menghabiskan waktu di rumah, bertanya pada diri sendiri dan mencoba mencari jawaban atas semua yang terjadi. Berbagai pemikiran tentang banyak hal berputar di kepala saya. Otak saya bekerja sangat keras, berpacu dalam lingkaran dan tidak menemukan jalan keluar.
Sedikit saya memutar waktu, melamun, menyusuri kehidupan saya beberapa bulan ke belakang. Masa-masa saya banyak mengalami kekosongan jiwa, yang kadang hanya bisa tertolong dengan adanya kegiatan bersama Peterpan atau bersama kekasih. Kehidupan saya nyaris tanpa tujuan.
Saya ingat, suatu waktu beberapa bulan sebelumnya, saya melakukan shalat dan berdoa; "Tuhan, jangan lupakan saya, jangan biarkan saya lepas tanpa arah."
Lalu, saya kembali ke hari ini.
Badan saya lemas, tidak mampu berdiri. Saya mencoba untuk hidup. Badan saya mencoba untuk tetap menjalani hari, namun ia berjalan seperti robot: sekadar makan dan minum. Tekadang saya hanya berbaring diam di lantai. Kata yang keluar dari mulut saya hanya pertanyaan: "Tuhan, tolong...Apa gerangan yang tengah terjadi?"
Pada hari-hari itu orang dekat saya mencoba mengajak saya untuk bertukar pikiran, baik untuk mencari solusi atau pun hanya sekadar meringankan beban. Ketika seorang teman menganjurkan saya untuk menghubungi pengacara, saya malah balik bertanya, "Pengacara? Mengapa saya membutuhkan pengacara?" Pertanyaan itu muncul karena sejauh ini gambaran yang ada di kepala saya adalah menunggu polisi menangkap orang yang telah dengan sengaja mengunggah data itu ke dunia maya.
Namun, pada pekan-pekan itu keadaan berubah-ubah tanpa arah dan berlangsung begitu cepat. Terlalu banyak intervensi, spekulasi, dan lain-lain di luar sana.
Akhirnya, saya memutuskan mengikuti saran untuk mendapatkan seorang pengacara. Seiring dengan keputusan itu, saya menjadi orang yang paling dicari aparat kepolisian. Paling tidak, selama dua hari terakhir, saya harus mencari tempat untuk menghilang sebelum akhirnya menyerahkan diri.
Selepas tengah malam tanggal 23 Juni 2010, saya meninggalkan rumah persembunyian, bergegas menuju lapangan parkir sebuah hotel di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan. Di sana sudah menunggu pengacara saya dan beberapa aparat kepolisian. Inilah keputusan saya: Menyerahkan diri.
Sebelum saya menyerahkan diri, dua kali surat panggilan dari Bareskrim (Badan Reserse dan Kriminal) Mabes Polri di alamatkan kepada saya. Dua kali pula saya memenuhi panggilan tersebut. Ketika memenuhi panggilan pertama, pada pertengahan Juni 2010, saya datang dengan kondisi kesehatan kurang prima. Suhu badan saya tinggi. Setelah diperiksa dokter, pemeriksaan pun dihentikan. Seminggu kemudian, saya kembali ke Bareskrim untuk memenuhi panggilan kedua.
Lalu saya menerima kabar bahwa pihak berwajib akan menahan saya. Aapa dasar penahanan tersebut? Saya maupun pengacara saya tidak mengetahui dengan pasti. Karena itu, sebelum mendapatkan alasan sebenarnya, pengacara mnyarankan saya untuk tiarap dulu, menjauhi sorotan publik.
Sepanjang dua hari di tempat persembunyian, sejumlah diskusi dengan pengacara berlangsung. Berbagai hal dibahas, sejumlah alternatif ditimbang, temasuk konsekuensinya. Salah satu kekhawatiran aparat berwajib untuk menahan saya juga dibahas waktu itu. Pihak kepolisian mengkhawatirkan
keselamatan saya, terutama karena ada pihak-pihak yang ingin mencari diri saya.
Selama di tempat persembunyian itu, saya melalui hari-hari yan gpenuh tekanan. Meski raga ini kelelahan dan mata bisa terpejam selama berjam-jam, pikiran tetap bekerja, Obat tidur akhirnya menjadi jalan keluar.
Saya sempat berdiskusi dengan seseorang yang bisa dibilang tokoh agama. Kami bercerita panjang lebar. Pembicaraan kami menghasilkan pengertian yang baik dan juga menguatkan saya.
"Mari hadapai ini!" begitu yang kemudian ada di pikiran saya. Cukuplah semua pendapat dan pemikiran yang pernah saya dengar. Keadaan sudah semakin mendesak.
Saya coba mengumpulkan semua pikiran yang meringankan selama dalam perjalanan menuju titik rendezvouz di lapangan parkir hotel itu. Temasuk perkataan seseorang yang sempat sangat menyejukkan. Dia bilang, "Paling hanya empat hari ditaha,"
Kenyataanya, empat hari itu menjadi dua tahun satu bulan kurungan, atau lebih tepatnya 750 hari. Bila diingat-inga, saya tersenyum sendiri dibuatnya.
Pertemuan dengan aparat kepolisian di lapangan parkir tadi hanya sebentar. Tak banyak yang terjadi saat saya berada disana. Saya turun dari mobik yang membawa diri saya. Lantas saya mengambil waktu sebentar untuk memeluk erat-erat satu per satu orang-orang terdekat saya. Saya tahu, kami semua masih merasa berat dan masih menyimpan tanda tanya besar atas semua yang terjadi. Namun kami percaya dengan keputusan ini, sebagaimana saya percaya kepada rencana Tuhan, yang kadang sangat misterius.
Back To.. Kata Pertama & Terima Kasih
Rapat sedikit terganggu oleh bisikan Kindi, asisten pribadi saya. Wajahnya tampak serius saat membisikkan kabar ke telinga saya. Kabar yang mencuri sedikit konsentrasi saya. Saya menoleh ke arah Kindi, dan spontan berkata, "Ah, itu pasti hoax!" Kindi terdiam sebentar lalu meninggalkan saya.
Saya pun melanjutkan rapat dan argumentasi yang sempat terputus. Namun, setelah 20 menit, Kindi kembali menghampiri saya. Kali ini wajahnya lebih serius daripada sebelumnya. Tidak ada kata yang dia ucapkan kali ini. Dia hanya menyodorkan handphone-nya ke tangan saya, dan lewat mimik wajahnya mempersilahkan saya untuk melihat layar handphone itu. Seketika suasana di kepala saya berubah.
Saya menjauh dari kebisingan tempat rapat. Tempat itu ramai, tapi saya merasa sunyi.
Untuk beberapa saat saya merasakan nafas saya tertahan. Lalu saya merasakan kepala saya seperti hendak meledak. Saya menarik nafas panjang dan membuangnya keras-keras hingga semua yang ikut rapat melihat ke arah saya.
Saya yakin, melihat wajah saya, peserta rapat langsung dapat menerka ada masalah sanngat serius yang tengah saya hadapi. Saya sendiri juga melihat masalah besar di hadapan saya sejak malam itu.
Dalam hitungan hari, masalah yang saya hadapi itu menjadi percakapan semua orang, menjadi headline di media cetak dan elektronik, dibeitakan hampir tiap jam oleh media online.
Pikiran saya makin kacau. Saya menghabiskan waktu di rumah, bertanya pada diri sendiri dan mencoba mencari jawaban atas semua yang terjadi. Berbagai pemikiran tentang banyak hal berputar di kepala saya. Otak saya bekerja sangat keras, berpacu dalam lingkaran dan tidak menemukan jalan keluar.
Sedikit saya memutar waktu, melamun, menyusuri kehidupan saya beberapa bulan ke belakang. Masa-masa saya banyak mengalami kekosongan jiwa, yang kadang hanya bisa tertolong dengan adanya kegiatan bersama Peterpan atau bersama kekasih. Kehidupan saya nyaris tanpa tujuan.
Saya ingat, suatu waktu beberapa bulan sebelumnya, saya melakukan shalat dan berdoa; "Tuhan, jangan lupakan saya, jangan biarkan saya lepas tanpa arah."
Lalu, saya kembali ke hari ini.
Badan saya lemas, tidak mampu berdiri. Saya mencoba untuk hidup. Badan saya mencoba untuk tetap menjalani hari, namun ia berjalan seperti robot: sekadar makan dan minum. Tekadang saya hanya berbaring diam di lantai. Kata yang keluar dari mulut saya hanya pertanyaan: "Tuhan, tolong...Apa gerangan yang tengah terjadi?"
Pada hari-hari itu orang dekat saya mencoba mengajak saya untuk bertukar pikiran, baik untuk mencari solusi atau pun hanya sekadar meringankan beban. Ketika seorang teman menganjurkan saya untuk menghubungi pengacara, saya malah balik bertanya, "Pengacara? Mengapa saya membutuhkan pengacara?" Pertanyaan itu muncul karena sejauh ini gambaran yang ada di kepala saya adalah menunggu polisi menangkap orang yang telah dengan sengaja mengunggah data itu ke dunia maya.
Namun, pada pekan-pekan itu keadaan berubah-ubah tanpa arah dan berlangsung begitu cepat. Terlalu banyak intervensi, spekulasi, dan lain-lain di luar sana.
Akhirnya, saya memutuskan mengikuti saran untuk mendapatkan seorang pengacara. Seiring dengan keputusan itu, saya menjadi orang yang paling dicari aparat kepolisian. Paling tidak, selama dua hari terakhir, saya harus mencari tempat untuk menghilang sebelum akhirnya menyerahkan diri.
Selepas tengah malam tanggal 23 Juni 2010, saya meninggalkan rumah persembunyian, bergegas menuju lapangan parkir sebuah hotel di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan. Di sana sudah menunggu pengacara saya dan beberapa aparat kepolisian. Inilah keputusan saya: Menyerahkan diri.
Sebelum saya menyerahkan diri, dua kali surat panggilan dari Bareskrim (Badan Reserse dan Kriminal) Mabes Polri di alamatkan kepada saya. Dua kali pula saya memenuhi panggilan tersebut. Ketika memenuhi panggilan pertama, pada pertengahan Juni 2010, saya datang dengan kondisi kesehatan kurang prima. Suhu badan saya tinggi. Setelah diperiksa dokter, pemeriksaan pun dihentikan. Seminggu kemudian, saya kembali ke Bareskrim untuk memenuhi panggilan kedua.
Lalu saya menerima kabar bahwa pihak berwajib akan menahan saya. Aapa dasar penahanan tersebut? Saya maupun pengacara saya tidak mengetahui dengan pasti. Karena itu, sebelum mendapatkan alasan sebenarnya, pengacara mnyarankan saya untuk tiarap dulu, menjauhi sorotan publik.
Sepanjang dua hari di tempat persembunyian, sejumlah diskusi dengan pengacara berlangsung. Berbagai hal dibahas, sejumlah alternatif ditimbang, temasuk konsekuensinya. Salah satu kekhawatiran aparat berwajib untuk menahan saya juga dibahas waktu itu. Pihak kepolisian mengkhawatirkan
keselamatan saya, terutama karena ada pihak-pihak yang ingin mencari diri saya.
Selama di tempat persembunyian itu, saya melalui hari-hari yan gpenuh tekanan. Meski raga ini kelelahan dan mata bisa terpejam selama berjam-jam, pikiran tetap bekerja, Obat tidur akhirnya menjadi jalan keluar.
Saya sempat berdiskusi dengan seseorang yang bisa dibilang tokoh agama. Kami bercerita panjang lebar. Pembicaraan kami menghasilkan pengertian yang baik dan juga menguatkan saya.
"Mari hadapai ini!" begitu yang kemudian ada di pikiran saya. Cukuplah semua pendapat dan pemikiran yang pernah saya dengar. Keadaan sudah semakin mendesak.
Saya coba mengumpulkan semua pikiran yang meringankan selama dalam perjalanan menuju titik rendezvouz di lapangan parkir hotel itu. Temasuk perkataan seseorang yang sempat sangat menyejukkan. Dia bilang, "Paling hanya empat hari ditaha,"
Kenyataanya, empat hari itu menjadi dua tahun satu bulan kurungan, atau lebih tepatnya 750 hari. Bila diingat-inga, saya tersenyum sendiri dibuatnya.
Pertemuan dengan aparat kepolisian di lapangan parkir tadi hanya sebentar. Tak banyak yang terjadi saat saya berada disana. Saya turun dari mobik yang membawa diri saya. Lantas saya mengambil waktu sebentar untuk memeluk erat-erat satu per satu orang-orang terdekat saya. Saya tahu, kami semua masih merasa berat dan masih menyimpan tanda tanya besar atas semua yang terjadi. Namun kami percaya dengan keputusan ini, sebagaimana saya percaya kepada rencana Tuhan, yang kadang sangat misterius.
Back To.. Kata Pertama & Terima Kasih
Post a Comment