[postlink]
http://wongmatoh.blogspot.com/2013/09/tentang-pengarang-yang-merasa-telah.html[/postlink]
Oleh: Triyanto Triwikromo
Tak ada gunung di hutan penuh bakau ini. Akan tetapi di sini setiap orang seperti bertemu dengan Gunung Jiwa, yakni berjumpa dengan sesuatu yang segalanya dalam keadaan begitu alami. Kali pertama datang di kawasan yang kelak dalam nobel diberi nama Tanjungkluwung ini, Mohamad Isa Daud takjub melihat bangau-bangau melayang-layang dari surga yang jauh, dan manusia-manusia murni yang seakan-akan hidup pada 1980-an berzikir dan berselawat terus-menerus.
Tak ada keajaiban di kampung ini. Akan tetapi bangau-bangau dan pohon-pohon bakau seharian berzikir. Swmua manusia berselawat seakan-akan mereka diciptakan sebagai malaikat. Jadi, tinggalah di Tanjungkluwung jika ingin menemukan hakikatmu sebagai manusia.
Itulah kalimat-kalimat pembuka dalam novel Mohamd Isa Daud. Kalimat sangat biasa dari novelis biasa. Kalimat yang terdengar lirih, tetapi murni.
Akan tetapi di Tanjungkluwung kau tidak hanya berurusan dengan segala sesuatu yang tampak sebagai surga. Pada saat-saat tak terduga, terutama ketika kau berziarah ke Makam Syekh Muso, kau akan merasa berhadapan dengan Bukit Kematian yang menyembul dari Danau Neraka. Di danau itu mayat-mayat merah jambu mengapung. Jika jiwamu rapuh, kau akan melihat tubuhmu terjepit di antara mayat-mayat itu sehingga kau akan menjeri-jerit tak karuan di tengah-tengah para peziarah yang sedang berzikir.
Karena itulah pada halaman 235 dari 1.111 h
alaman yang direncanakan dalam novel tentang pembantaian para bangau, pembakaran masjid, pembantaian manusia, dan pendirian resor di bekas hutan bakau, Mohamad Isa Daud merintih: Tak ada Wali Allah di kampung ini. Sang Wali telah dimatikan. Jika Sang Junjungan ada, bangau-bangau tak akan dibakar oleh para pembunuh keji. Jika Sang Pencerah ada, tak mungkin pohon-pohon bakau ditebang hingga hilang keteduhan hingga hilang apa pun yang membuatmu hidup dalam pelukan kehijauan hutan yang menentramkan.
Apakah akhirnya Mohamad Isa Daud sampai di Gunung Jiwa?
"Antara sampai dan tak sampai karena aku berada di antara pemuja dan penghancur alam."
"Dan itu sangat mempengaruhi novelmu?"
Mohamad Isa Daud tak ingin menjawab pertanyaan itu. Saat itu dia belum selesai menulis novel yang tokoh-tokohnya kian sulit merampungkan pertempuran-pertempuran yang telah digariskan menang-kalahnya secara semena-mena. Saat itu pada halaman 435 Mohamad Isa Daud menggugat: Neraka telah diciptakan di mana-mana. Manusia hanya percaya pada 1/2 tuhan karena 1/2 tuhan yang lain dilesapkan dalam diri manusia. Kian banyak manusia yang menuhankan dirinya sendiri sehingga mereka menganggap apa pun yang dikatakan sebagai kebenaran tunggal. Mereka mendukung pembangunan resor dan bilang, Allah lah yang menghendaki pembangunan rumah dan hotel mewah itu. Ini keterlaluan karena nama Tuhan dibawa-bawa untuk hal-hal yang tidak sakral.
Mohamad Isa Daud yang menganggap komposisi duni hanyalah konstruksi yang dibangun dari angka-angka atau statistik akhirnya menyimpulkan perjuangan terberat manusia adalah menjaring keagungan 1/2 tuhan yang melayang-layang di semesta agar kelak pada Hari Perhitungan, di surga manusia bertemu dengan Tuhan yang utuh, bukan 1/2 tuhan, bukan 1/2 manusia.
Tak ada keajaiban di kampung ini. Akan tetapi bangau-bangau dan pohon-pohon bakau seharian berzikir. Swmua manusia berselawat seakan-akan mereka diciptakan sebagai malaikat. Jadi, tinggalah di Tanjungkluwung jika ingin menemukan hakikatmu sebagai manusia.
Itulah kalimat-kalimat pembuka dalam novel Mohamd Isa Daud. Kalimat sangat biasa dari novelis biasa. Kalimat yang terdengar lirih, tetapi murni.
Akan tetapi di Tanjungkluwung kau tidak hanya berurusan dengan segala sesuatu yang tampak sebagai surga. Pada saat-saat tak terduga, terutama ketika kau berziarah ke Makam Syekh Muso, kau akan merasa berhadapan dengan Bukit Kematian yang menyembul dari Danau Neraka. Di danau itu mayat-mayat merah jambu mengapung. Jika jiwamu rapuh, kau akan melihat tubuhmu terjepit di antara mayat-mayat itu sehingga kau akan menjeri-jerit tak karuan di tengah-tengah para peziarah yang sedang berzikir.
Karena itulah pada halaman 235 dari 1.111 h
alaman yang direncanakan dalam novel tentang pembantaian para bangau, pembakaran masjid, pembantaian manusia, dan pendirian resor di bekas hutan bakau, Mohamad Isa Daud merintih: Tak ada Wali Allah di kampung ini. Sang Wali telah dimatikan. Jika Sang Junjungan ada, bangau-bangau tak akan dibakar oleh para pembunuh keji. Jika Sang Pencerah ada, tak mungkin pohon-pohon bakau ditebang hingga hilang keteduhan hingga hilang apa pun yang membuatmu hidup dalam pelukan kehijauan hutan yang menentramkan.
Apakah akhirnya Mohamad Isa Daud sampai di Gunung Jiwa?
"Antara sampai dan tak sampai karena aku berada di antara pemuja dan penghancur alam."
"Dan itu sangat mempengaruhi novelmu?"
Mohamad Isa Daud tak ingin menjawab pertanyaan itu. Saat itu dia belum selesai menulis novel yang tokoh-tokohnya kian sulit merampungkan pertempuran-pertempuran yang telah digariskan menang-kalahnya secara semena-mena. Saat itu pada halaman 435 Mohamad Isa Daud menggugat: Neraka telah diciptakan di mana-mana. Manusia hanya percaya pada 1/2 tuhan karena 1/2 tuhan yang lain dilesapkan dalam diri manusia. Kian banyak manusia yang menuhankan dirinya sendiri sehingga mereka menganggap apa pun yang dikatakan sebagai kebenaran tunggal. Mereka mendukung pembangunan resor dan bilang, Allah lah yang menghendaki pembangunan rumah dan hotel mewah itu. Ini keterlaluan karena nama Tuhan dibawa-bawa untuk hal-hal yang tidak sakral.
Mohamad Isa Daud yang menganggap komposisi duni hanyalah konstruksi yang dibangun dari angka-angka atau statistik akhirnya menyimpulkan perjuangan terberat manusia adalah menjaring keagungan 1/2 tuhan yang melayang-layang di semesta agar kelak pada Hari Perhitungan, di surga manusia bertemu dengan Tuhan yang utuh, bukan 1/2 tuhan, bukan 1/2 manusia.
Post a Comment